Kamis, 04 Agustus 2016

MAHKAMA KONSTITUSI Tidak Sanggup Menyelesaikan Perkara LGBT

Persidangan di Mahkamah Konstitusi untuk mengubah pasal dalam KUHP agar mempidanakan homoseksualitas bisa mengarah pada terjadinya kekerasan akibat main hakim sendiri oleh kalangan intoleran.

 http://ceritasemuadunia.blogspot.com/2016/08/mahkama-konstitusi-tidak-sanggup.html


Mahkamah Konstitusi sudah empat kali melakukan sidang terkait uji materi terkait pasal 284, 285, dan 292 KUHP tentang kekerasan seksual.

"Jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan, nantinya orang bisa seenaknya menggrebek, main hakim sendiri, dan melakukan kekerasan apa saja terhadap kaum LGBT atau yang mereka anggap LGBT, dengan alasan menegakkan ketentuan hukum KUHP," kata Lies Marcoes, seorang feminis aktivis hak-hak sipil dan kewargaan.

Ia mencontohkan, surat edaran menteri kesehatan terkait sunat perempuan yang dimaksudkan agar jika ada yang melakukan praktik itu setidaknya dilakukan dengan sehat, justru dijadikan dasar beberapa kalangan untuk mengkampanyekan sunat perempuan.

Contoh lain, tap MPRS tentang Marxisme/Leninisme yang digunakan beberapa kalangan setiap kali mereka menentang atau membubarkan acara terkait Peristiwa 1965 atau yang mereka tuding mempropagandakan komunisme.

Belum cukup umur

 http://ceritasemuadunia.blogspot.com/2016/08/mahkama-konstitusi-tidak-sanggup.html


Agustine, pegiat dari Yayasan Ardhanari yang bekerja melindungi hak-hak kaum lesbian, mengamini.

"Sekarang-sekarang saja sudah banyak penggrebekan terhadap tempat-tempat kos kawan-kawan perempuan lesbian, juga pelecehan terhadap kawan-kawan buruh perempuan yang ekspresi gendernya macho," kata Agustine.

Dalam ketentuan pidana sekarang, seks hanya ilegal jika melibatkan anak kecil yang belum cukup umur, dan berlaku baik bagi homoseksual maupun heteroseksual.

Namun dalam uji material yang diajukan oleh sejumlah kalangan yang tergabung dalam Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, MK diminta untuk mengubah pasal 284 itu agar berlaku bagi semua umur, khususnya terkait homoseksualitas.

"Kita menyaksikan kemerosotan moral terus terjadi," kata Rita Hendrawaty Soebagio, Ketua AILA".

Terkait potensi kekerasan dan aksi main hakin sendiri oleh warga, Rita Soebagio mengakui, 'Seluruh potensi agresivitas dan lain sebagainya mungkin saja terjadi," katanya.

Rita berdalih, ada keresahan di dalam masyarakat. "Justru agar masyarakat tak bertindak di luar konteks hukum."

"Justru yang kami khawatirkan adalah masyarakat main hakim sendiri karena tidak ada perangkat yang cukup. Tapi kalau perangkatnya cukup masyarakat mestinya memiliki kesadaran hukum, bahwa proses pengadilan dan hukum bisa ditempuh."

Uji materi ini sudah empat kali disidangkan, dan sejauh ini sudah menghadirkan para saksi ahli yang mendukung para pemohon, yang antara lain menyebutkan bahwa homoseksualitas bisa menularkan penyakit kelamin, dan bahwa homoseksualitas adalah penyakit.

Sebagian besar bahasan dalam persidangan terarah pada homoseksualitas. Namun uji material juga sebetulnya terarah pada hubungan heteroseksual.

 http://ceritasemuadunia.blogspot.com/2016/08/mahkama-konstitusi-tidak-sanggup.html


Rita Soebagyo menolak disebut berupaya mengkriminalkan seksualitas.

"Dari dulu, itu sudah pidana. Kami sekedar ingin memperluas pengertiannya saja," katanya.

Antaran lain, 'perzinahan' yang ingin diperluas dari yang asalnya pada subjek yang menikah, menjadi siapa pun. Sementara homoseksualitas diinginkan AILA untuk dipidanakan, padahal sebelumnya pidana untuk LGBT ini jika menyangkut anak di bawah umur.

Lies Marcoes, seorang feminis dan sekaligus cendikiawan Muslim Indonesia menyebut, permohonan AILA itu juga berbahaya karena meminta negara untuk campur tangan dalam kehidupan pribadi warga.

"Dan campur tangan pada urusan pribadi warga itu bukan untuk melindungi, melainkan justru untuk merepresi warga untuk urusan yang tak bersangkut paut dengan orang lain," kata Lies Marcus.

Menurutnya, negara, dalam hal ini pemerintah, juga Mahkamah Konstitusi, harus menunjukkan kewibawaan dengan tidak tunduk pada tekanan konservatisme agama.

Dalam persidangan yang diwarnai semangat agama itu -termasuk komentar anggota majelis hakim, Patrialis Akbar, wakil pemerintah, Hotman Sitorus mempertanyakan apakah nantinya penjara akan kelebihan beban, apakah kepolisian, kejaksaan dan kehakiman jadi 'terfokus' (pada hal-hal terkait seksualiats warga).

Namun Hotma Sitorus mengatakan, pemerintah belum akan mengajukan saksi ahli dari pihak mereka.

0 komentar:

Posting Komentar